Membangun Indonesia dengan Matematika

Muhamad Mustain
6 min readAug 31, 2020

Sebagai permulaan, tulisan ini saya buat ketika masih menjadi mahasiswa matematika di tahun 2015. Esai ini dibukukan menjadi “Esai Sinergis”, sebagai salah satu catatan karya beberapa ketua lembaga di FMIPA UGM saat itu. Kebetulan saya saat itu diamanahi sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Matematika (HIMATIKA), yang mana menjadi alasan kenapa tulisan ini membahas dari sudut pandang matematika.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang rencananya akan diimplementasikan pada akhir Desember 2015 menjadi momentum yang akan mengubah wajah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Momentum ini akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan satu kesatuan basis produksi, sehingga akan terjadi aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil antar negara di Asia Tenggara. MEA 2015 bagaikan dua sisi mata uang yang berisikan peluang besar, sementara di sisi lain berisikan suatu ancaman bagi Indonesia. Momentum ini tentu harus disikapi secara cermat dan terintegrasi. Indonesia perlu berbenah di beberapa sektor, seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia sampai pengembangan serta pemanfaatan sains dan teknologi yang diharapkan dapat menjadi aset bagi Indonesia untuk meraih keberhasilan MEA 2015 (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2015).

Diberlakukannya MEA 2015 menuntut bangsa kita untuk mampu memiliki daya saing yang tinggi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Berbicara tentang sumber daya manusia, kita juga perlu berbicara mengenai salah satu sumber investasi nasionalnya, yaitu pendidikan. Pendidikan menjadi peran penting dalam mencetak SDM yang berkualitas di masa depan. Kenyataannya, di beberapa bagian dalam pendidikan kita, kita masih kalah saing dengan negara tetangga. Misalnya, masalah penguasaan konsep matematika dalam dunia pendidikan yang menjadi permasalahan dari tahun ke tahun.

Matematika dalam dunia pendidikan masih dianggap sebagai momok yang sangat menakutkan. Tentu saja hal ini sangat berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Dalam data TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) yang bertujuan untuk mengukur prestasi matematika dan sains pada siswa kelas VIII di negara pesertanya termasuk Indonesia, kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan. Prestasi matematika Indonesia masih relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan negara tetangganya dalam lingkup ASEAN (sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 1).

Tabel 1: Perbandingan hasil TIMMS dari negara di Asia Tenggara (diolah dari Balitbang Kemendibud, 2011)

Selain penilaian dari TIMMS, bangsa ini juga harus menelan pil yang lebih pahit karena menempati posisi 64 dari 65 negara peserta PISA (Program for International Student Assessment) 2012. Menurut data PISA 2012, kurang dari 1 persen siswa Indonesia memiliki kemampuan yang bagus di matematika. Ada semacam ironi tersendiri ketika mengamati kondisi prestasi matematika siswa di Indonesia saat ini, padahal kita selalu membawa pulang medali setiap kali mengirimkan delegasi kompetisi matematika di tingkat internasional.

Berbagai cara dilakukan untuk mendongkrak prestasi matematika siswa di Indonesia, baik melalui perbaikan kurikulum atau yang langsung menjurus ke pengajaran matematika yang lebih mudah dan menyenangkan. Namun, bagaimanapun jalan yang akan ditempuh, tetap saja hasilnya tak seberapa selama stereotip matematika sebagai ilmu yang tak memiliki kegunaan di kehidupan masih melekat di pemikiran kita. Padahal, matematika secara alamiah adalah ilmu pola pikir yang tanpa disadari mampu menopang kualitas sumber daya manusia.

Pemahaman matematika mampu mempengaruhi pola pikir manusia untuk berpikir kritis, sistematis, logis, bahkan kreatif. Tak mengherankan jika pada masanya, Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa “Kemajuan dan kesempurnaan matematika memiliki hubungan yang erat dengan kesejahteraan negara”. Sederhananya, persoalan memajukan suatu bangsa bergantung pada bagaimana setiap individu mengembangkan pola pikirnya. Pola pikir ini yang membedakan negara maju dengan negara berkembang, seperti Indonesia. Pengembangan pola pikir inilah yang diam-diam disusupi oleh matematika.

Matematika lahir dan berkembang karena adanya keinginan manusia untuk membuat sistematika pengalaman hidupnya. Sistematika ini kemudian ditata agar dapat dimengerti, dan dapat digunakan untuk meramalkan bahkan mengendalikan peristiwa yang akan terjadi di masa depan (Peter Hilton, 1997). Konsep tersebut dalam matematika pada dasarnya dikenal dengan logika implikasi “jika-maka”, atau yang secara umum disebut hukum kausalitas. Kenyataannya, konsep kausalitas bangsa Indonesia sampai saat ini masih belum dipahami secara matang. Alhasil, pola pikir bangsa Indonesia dalam proses pengambilan keputusan krusial atau bagian apapun yang memperhatikan “sebab-akibat” masih relatif jauh dari yang bisa diharapkan. Contoh sederhananya, wacana pembubaran KPK yang secara logika justru akan menimbulkan dampak lebih buruk bagi Indonesia dengan kondisi seperti saat ini.

Selain dalam sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, pembenahan beberapa sektor lain dalam agenda prioritas pembangunan nasional bagai tugas yang berat bagi Indonesia. Apalagi bangsa ini seakan berulangkali dihantam berbagai masalah krusial. Mengutip pernyataan Prof. Dr. Amien Rais, bahwa terdapat 5 masalah besar yang dihadapi dunia, termasuk bangsa Indonesia, yaitu : ledakan jumlah penduduk, krisis pangan, krisis energi, perusakan lingkungan, dan krisis peradaban (Trihutama, 2010). Masalah besar tersebut perlu dengan sigap diminimalkan dalam rangka mewujudkan “Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur” sebagaimana yang tertuang dalam Visi Indonesia tahun 2025 dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025.

Dalam tinjauan ilmu matematika, 5 masalah besar tersebut dapat dimodelkan secara matematis untuk dicari solusi yang dapat diimplementasikan secara nyata. Untuk penanganan ledakan jumlah penduduk, Meng Yi, et. al. (2003) menulis tentang pemodelan Malthus, logistik, dan koalisi untuk memproyeksikan jumlah populasi di China sampai tahun 2050, sehingga diperoleh solusi program yang tepat tanpa membebani sektor lain. Untuk masalah krisis pangan, Marco Lagi, et. al. (2011) menulis tentang pemodelan kuantitatif harga pangan termasuk spekulan. Untuk masalah krisis energi, M. Wajihullah, et. al. (2014) menulis tentang solusi matematis dan teknis untuk krisis energi dan pembuatan kebijakan mengenai energi di Pakistan. Untuk masalah perusakan lingkungan, Springer menerbitkan buku model matematika untuk ilmu iklim dan lingkungan pada tahun 1997 yang berisikan pemodelan matematis tentang kendali optimal untuk permasalahan di lingkungan. Terakhir, untuk masalah krisis peradaban, Fox (2002) menulis tentang analisis kuantitatif terhadap etnis minoritas dan peradaban.

Selain itu, dalam rangka mencapai visi Indonesia 2025, Presiden Republik Indonesia sekaligus wakilnya, Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla, telah menggagas “Nawa Cita” sebagai agenda prioritas pembangunan nasional dalam jangka menengah 2015–2019. Pelaksanaan Nawa Cita selama satu tahun perjalanan Kabinet Kerja memang belum cukup untuk dapat dikatakan berhasil. Selain karena beberapa programnya yang berjangka panjang, pelaksanaan Nawa Cita juga harus dikonsepkan secara matang. Dalam ilmu matematika, Nawa Cita juga dapat diproyeksikan dalam tinjauan matematis untuk memperoleh solusi yang tepat bagi pelaksanaan dan mengantisipasi masalah yang mungkin ditimbulkan.

Dalam rangka menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, Juan Carlos, et. al. (2006) pernah menulis tentang model matematika persamaan diferensial untuk meminimalisasi kriminalitas. Untuk menjalankan pemerintahan yang selalu hadir dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, Xie An, et. al. (2011) menuliskan tentang efisiensi tata kelola dari suatu pemerintahan menggunakan perluasan teori matematika, yaitu teori himpunan dan teori matriks. Untuk membangun Indonesia dari pinggiran, kita dapat mengadopsi tulisan Chhaya Yadav, et. al. (2013) tentang pendekatan matematis model pengentasan kemiskinan di pedesaan di India menggunakan teori matriks. Untuk memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya, Sayaji R.W. (2013) menuliskan tentang pemodelan matematika secara komparatif antara pemberantasan korupsi dan pembangunan sosial.

Selanjutnya, untuk agenda Nawa Cita yang sasarannya ke rakyat, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia, Karnon J., et. al. (2009) menulis tentang model matematika dalam perawatan kesehatan menggunakan model cohort Markov dan teori antrian. Unuk meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, Muhittin Oral, et. al. (2009) menulis tentang model daya saing institusi untuk perumusan strategi menggunakan model program linear. Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, kita dapat mengadopsi gagasan dalam tulisan Salma Saleh (2013) tentang pemodelan matematika untuk meramalkan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) di Zanzibar. Untuk melakukan revolusi karakter bangsa, Dr. Marsigit, M.A. (2011) menulis tentang pengembangan nilai-nilai matematika dan pendidikan matematika sebagai pilar pembangunan karakter bangsa. Terakhir, untuk memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, Edi Prayitno (2011) menulis tentang pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran matematika di SMP.

Dalam menyongsong MEA 2015, Indonesia harus dengan sigap membangun dirinya untuk menunjukkan jati diri sebagai negara yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, tak hanya dalam regional ASEAN, tapi juga ke dunia. Tanpa persiapan berarti, momentum MEA 2015 hanya akan menjadikan nasib Indonesia terlempar di putaran roda rolet yang spekulatif. Aksi dan peran serta setiap bagian masyarakat secara kontinu sangat diperlukan untuk menciptakan umpan balik dengan pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan bangsa. Karena tanpa peran serta seluruh komponen bangsa, Nawa Cita atau Visi Indonesia 2025 hanya tetap akan menjadi nyanyian sunyi yang menidurkan Indonesia.

Daftar Pustaka

Balitbang, Kemdikbud. 2011. Survey Internasional TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/timss. Diakses 18 November 2015.

Organisation for Economic Co-operation and Development. 2012. PISA 2012 Results in Focus. http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-overview.pdf. Diakses 18 November 2015.

Trihutama, A. 2010. 5 Masalah Global Negeri ini yang belum Terpecahkan. http://forum.viva.co.id/indeks/threads/lima-masalah-besar-indonesia.58607/. Diakses 18 November 2015

--

--